Berhenti…kalian di tangkap.. (sebuah kisah kecil bersama teman sekerja)

Sebuah pengalaman nyata bersama teman-teman sekerja, sekedar renungan dan mudah-mudahan ada teman yang terlibat dalam kisah ini bisa membacanya.
Sebuah cerita nyata dengan sedikit tambahan gaya cerita agar tidak terlalu monoton, mengambil istilah bang Sanusi Din, untuk dibaca sambil merehatkan minda…
Semua nama yang terlibat memakai nama panggilannya saja, sengaja nama aslinya saya samarkan, nama panggilan yang sebenarnya sebagaimana saya dan yang lain memanggilnya dalam keseharian. Dengan cerita ini semoga saya bisa bertemu lagi dengan mereka semua.

Berhenti…kalian di tangkap..
(sebuah kisah kecil bersama teman sekerja)

Peristiwa ini sungguh dialami bersama tiga teman-teman lama saat saya bekerja di sebuah perusahaan Manufacturer of Laboratory and Educational Equipment di Kota Bandung, terjadi beberapa tahun yang lalu. Saya termasuk paling junior diantara teman-teman sekerja saat itu, mungkin saya baru bekerja sekitar dua tahunan,  sedang teman-teman saya rata-rata tiga sampai lima tahun lebih dulu bekerja. Kebetulan mereka boleh dikatakan bekerja di bagian yang sama dengan saya yaitu bagian Mesin, hanya satu yang beda bagian yaitu sebut saja Ojeng, (nama aslinya dirahasiakan) begitulah ia dipanggil oleh kami sebagaimana keluarganya sering memanggil itu, seorang teman asli dari Lembang, Kabupaten Bandung.Kebetulan Ojeng nge-kost serumah dengan saya, walaupun tiap minggu ia pulang ke rumahnya di Lembang. Saya tahu nama panggilan dari keluarganya karena semenjak ia kost atau ngontrak rumah dengan saya, sering sekali saya ikut ke rumahnya di Lembang. Ojeng ini bekerja dibagian QA / QC( Quality Assurance).Kabar terakhir ia telah menikah dengan orang Cipadung, walaupun saya belum pernah bertemu lagi selepas resign dari kerja.

Ari Black, adalah teman dekat saya yang berasal dari Madura, dengan gaya sedikit urakan, menyandang ban kuning Tae Kwon Do pada saat itu. Terakhir teman saya yang sebaya dan hanya beda setahun bekerja adalah Asgum Cadas, walau badannya tidak sebesar Ari Black tapi sungguh ia boleh dikatakan paling berani dan cukup ditakuti teman-teman yang lain, maklum ia asli Cicadas Bandung, daerah yang terkenal dengan preman-premannya saat itu. Dan dengan mata kepala saya sendiri saya pernah melihat ia (Asgum) menjatuhkan seorang teman kerja yang bertengkar dengannya dengan hanya sekali pukul. Sedangkan saya boleh dikatakan hanya seorang junior dari kampung yang belum bisa memperlihatkan apa-apa untuk di banggakan, hanya karena berteman dekat dengan mereka boleh dikatakan hidup saya aman dari gangguan teman sekerja atau orang lain yang kadang suka bikin ulah di perantauan. Saya hanya dipanggil dengan julukan atau nama panggilan yang sedikit mengecilkan yaitu si Tasik, karena kebetulan saya perantau yang berasal dari Tasikmalaya. Paling keren saya kadang juga dipanggil Ustadz Kresek, karena kebetulan daerah asal saya adalah daerah santri dan saya sering memakai peci dan sarung dalam keseharian di tempat kost. Kresek adalah istilah untuk saya yang mungkin mirip ustadz hanya dari tampilan saja, sebagaimana kantong kresek yang dari bunyinya saja sudah menjelaskan keadaan kantong tersebut. Namun setidaknya saya bangga punya nama panggilan yang unik.

Kisah kami dimulai saat Ari Black yang ngekost-nya satu komplek dengan saya mengajak kami semua untuk menghadiri acara ulang tahun pacarnya di daerah Cijawura, Bandung Selatan. Ari mengajak kami karena pacarnya menyuruh agar Ari membawa teman-temanya karena ada banyak gadis-gadis teman pacarnya yang masih single yang juga hadir di acara ulang tahun itu. Singkatnya kami berangkat berempat dengan memakai dua motor, Ojeng dibonceng Arie sedang saya dibonceng Asgum. Dengan tidak ada halangan yang berarti kami berempat sampai di acara ulang tahun pacarnya si Ari Black itu. Bahkan kami semua diperkenalkan dengan gadis-gadis teman pacarnya. Acara yang cukup meriah bukan saja bagi Ari dan pacarnya, namun bagi kami semua yang sepertinya mendapatkan blind date. Baru kenal dengan seorang gadis, Ojeng sudah kelihatan akrab dan berduaan ngobrol di pojok rumah yang punya acara. Begitu pula Asgum sepertinya sudah tidak canggung lagi untuk mengeluarkan jurus-jurus rayuannya dalam menaklukan gadis. Memang teman saya yang satu ini boleh dikatakan punya bakat alami sebagai playboy(sorry bro saya buka kartumu!!). Sedangkan saya, demam panggung ditengah suasana pesta yang hingar bingar. Ngobrol basa-basi sekedar menanyakan nama atau pekerjaan. Selebihnya hanya menunduk dan pura-pura menikmati keriuhan pesta.

Tak terasa waktu sudah menunjukan jam satu dini hari, maka kami memutuskan untuk pulang ke kost-an. Namun kami tidak bisa pulang langsung berboncengan seperti saat berangkat, karena ada tiga gadis teman blind date kami yang mesti diantarkan kerumahnya atau kost-nya masing-masing. Setelah berunding maka diputuskan Asgum yang kebagian mengantarkan semua gadis kerumahnya atau kost-annya. Karena tempatnya ada yang cukup jauh, maka Ari Black memutuskan untuk membonceng kami berdua, saya dan Ojeng dalam satu motornya sambil menunggu Asgum menyusul. Maka dengan santai dan sambil ngobrol kami bertiga berboncengan pulang sambil menunggu Asgum nanti menyusul di jalan. Kecepatan kami mungkin hanya lima kilometer per jam saat memasuki jalan by pass satu arah, jalan Soekarno-Hatta menuju arah Cibiru. Dengan mengambil lajur paling kiri kami berkendara sambil merokok dan ngobrol ngaler ngidul terutama membicarakan tentang gadis-gadis yang baru kami kenal itu.

Sekitar seperempat jam lamanya kami berjalan pelan bertiga dalam satu motor, Asgum belum juga ada muncul menyusul. Makin lambat pula kami menjalankan motor agar Asgum tidak terlalu jauh menyusul. Dan tanpa diduga saat kami ngobrol tiba-tiba tanpa kami ketahui sebuah mobil patroli polisi dengan sirine nyaring menyalip dan berhenti persis didepan kami. Deg,…. kami terkejut, bahkan Ari Black yang dikenal tenang dan lihai membawa motornya kelihatan terkejut. Namun dia sempat juga berusaha membelokan motornya berbalik arah. Suara peluit nyaring terdengar disusul satu bentakan keras. “Berhenti…kalian kami tilang, kalian kami tangkap !!!”, seorang polisi segera meloncat turun dari kendaraannya dan menuju arah kami. Aku yang duduk paling belakang secara spontan berkata,”kabur Ri, cepet berbalik, bahaya nih, bisa bisa kita ditilang dan gak bisa pulang ke kost-an !!“. Dengan panik akhirnya kami berhasil berbalik arah menghindari kejaran pak polisi. Namun langkahnya yang cepat dan keadaan kami yang berkendara berbalik arah pada jalur satu arah cukup membuat kami sepertinya tidak akan bisa cepat menghindari kejaran pak polisi ini. Belum lagi mobil patroli itu kelihatan mulai membelokan arahnya pada lajur sebelahnya untuk mengejar kami. Melihat situasi ini tiba-tiba saya secara tak sadar meloncat dari jok motor  sambil berkata pada Ari dan Ojeng, “Ri,,,,,kalau bertiga pasti kita akan terkejar, lebih baik saya lari sendiri, kamu berdua bawa motornya lari masuk gang, kabur menuju arah Binong!!”.

Tanpa menengok lagi aku segera berlari sekuat tenaga dengan nekad menyebrang jalan dulu, dengan harapan Ari dan Ojeng bisa lebih cepat memacu motornya untuk kabur, dan aku bisa lari sendiri tanpa dikejar pak polisi yang sangat marah melihat kami malah kabur. Sial, bukannya meneruskan mengejar Ari dan Ojeng, pak polisi itu malah berlari menngejarku. Kudengar satu letusan keudara, saya sangat takut namun lebih takut untuk ditangkap. Walaupun saya bukan penjahat, namun saya tidak bisa membayangkan seandainya nanti ditangkap, selain kesalahan karena berkendara bertiga dan tidak memakai helmet, tentunya berusaha kabur malah akan memberatkan kami. Kutengok kebelakang, jarak antara saya dan polisi itu sekitar dua puluh meteran. Membayangkan bogem mentah dan hukuman membuat saya nekad untuk terus berlari sekuat tenaga menyusuri trotoar. Dalam panik dan nekad saya masih sempat berfikir untuk nekad menyebrangi parit di samping trotoar dan kabur kearah pesawahan yang gelap, sebab kalau terus menyusuri trotoar mungkin malah akan membuat saya mudah kelihatan, belum lagi didepan sana sekitar lima puluh meter lagi ada supermarket yang walaupun sudah tutup namun didepannya terang benderang. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi saya nekad melompati sebuah parit kering yang cukup lebar.

Bruk…. rupanya lompatan saya tidak mencapai seberang. Saya terguling dan terjerembab masuk parit yang cukup dalam dan gelap. Beruntung parit itu kering dan saya tidak mengalami cedera yang berarti. Segera saya bersembunyi di bawah parit dan dengan perlahan mengendap berbalik arah menuju arah polisi yang mengejar. Kedengaran suara langkah kaki polisi yang mengejar saya dan suara sirine mobil yang juga melewati tempat saya sembunyi. Sekitar sepuluh meter dari tempat saya sembunyi kelihatan polisi itu seperti sedang mencari-cari saya, kemudian terus berlalu menjauhi saya. Plong…. dada saya sedikit tenang, namun saya belum berani keluar dari parit itu. Sambil membersihkan kotoran dan luka ringan pada kaki dan tangan, saya menunggu kira-kira sejam di dalam parit sebelum memutuskan untuk keluar dan segera naik angkutan kota menuju kostan saya. Dengan masih dipenuhi rasa takut akhirnya kurang lebih setengah jam kemudian saya bisa nyampai juga ke rumah kontrakan. Kebetulan Ari dan Ojeng belum pulang, begitu pula Asgum, entahlah apa yang terjadi pada mereka.

Beberapa orang penghuni di komplek kontrakan ada yang masih belum tidur saat saya pulang. Ada yang sedang bermain remi, maklum malam itu malam minggu. Mereka kelihatan terkejut saat saya pulang sendirian dengan keadaan yang kucel dan kotor. Namun saya tidak menceritakan kejadian barusan. Saya buru-buru membersihkan diri dulu dikamar mandi. Setelah selesai baru saya menceritakan kejadian tersebut. Semuanya bengong seperti tidak percaya.
“Bener kamu gak ketangkep polisi?” seru Mas Joko tetangga kontrakan yang jadi Satpam di pabrik sebelah. “Ah…jangan jangan kamu punya ilmu gaib sehingga gak kelihatan!”, kata si Bobby Sukardi teman saya satu komplek lagi. Saya hanya tertawa dan tidak berkomentar banyak.
Tidak berapa lama kemudian Ari, Ojeng dan Asgum datang hampir bareng. Mereka terkejut dan merangkulku, menanyakan kabarku dan merekapun bercerita betapa khawatirnya mereka akan nasib diriku. Selain itu mereka menceritakan kisahnya tentang saat kabur mereka yang kebetulan bisa selamat karena mereka lari melalui gang dan jalan tikus. Justeru mereka menyangka saya telah tertangkap dan mereka pun pasti akan terbawa.

“Wah, syukur deh…sungguh luar biasa kamu bisa selamat, aku kira kamu ditangkap polisi itu. Saya dan Ojeng sampai bingung sebab pasti kalau kamu tertangkap kita juga akan ikut tertangkap”, kata Ari Black ikut nimbrung.Kamu lari kemana tadi?, padahal aku fikir tidak ada tempat untuk bersembunyi selain pesawahan yang terhalang gerbang perumahan”, Asgum menimpali. “Aku mau lari ke sawah tapi keburu jatuh ke parit, nekad saja aku bersembunyi di parit dan kebetulan pak polisi tidak menemukan aku”, jawabku singkat. “Terima kasih kawan,,, berkat tindakan kamu tadi, kita semua bisa selamat, sungguh aku hampir gak percaya”, kata Ojeng sambil memeluk saya. “Gudrill...baik dan nyata, aku juga sampai gak percaya bisa selamat!!” kataku spontan. “Wah…mulai sekarang kamu kupanggil Gudrill.., setuju kawan-kawan?!!!!” kata Asgum berteriak sambil melirik teman-teman yang lain. “Mari kita syukuran atas kejadian tadi dengan bakar ayam… Jeng beli ayamnya ke pasar Gedebage!!”, Ari Black berteriak lantang sambil memberikan kunci motornya pada Ojeng.

Setelah kejadian itu pamor saya langsung naik kencang, dan panggilan Gudrill akhirnya melekat pada saya. Dan yang lebih aneh teman-temanku sekarang jadi segan dan menghormati saya. Bahkan akhirnya takdir membawa saya untuk memimpin teman-teman pekerja dengan menjadikan saya sebagai ketua Serikat Pekerja (Labour Union) di perusahaan tempat bekerja. Namun kejadian tadi hanyalah satu kejadian yang diluar dugaan dan hanya karena insting yang kuat untuk menyelamatkan diri. Setelah menjadi pengurus labour union tentunya saya benar-benar harus memperlihatkan jiwa sebagai pemimpin dan mengabdi untuk memperjuangkan rekan-rekan pekerja dengan tulus. Bukan dengan insting dan sekedar modal nekad.

sekedar bahan renungan :
1.  Bahwa kadang-kadang dalam keadaan kepepet atau menghadapi pilihan yang sulit seseorang akan bertindak diluar nalarnya. Mungkin akibatnya bisa baik atau bahkan     lebih buruk. Namun yakinkan bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan yang mungkin kita tidak punya.
2.  Kejahatan kecil yang berusaha ditutupi dengan kejahatan kecil lainnya bisa jadi menjadi sebuah kejahatan besar.
2.  Kepercayaan itu sangat sulit diperoleh, maka jika kita mendapat kepercayaan dari orang lain jagalah kepercayaan itu dengan baik, dan teruslah menambah ilmu untuk meningkatkan wawasan agar kita bisa mengelola kepercayaan itu dengan manajemen yang baik.

HOPIDIN, the lucky man

Cerpen tiga bagian : Geronimo Gudrill Braveheart

HOPIDIN
Sebuah kisah yang terinspirasi oleh seorang lelaki invalid, di suatu tempat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan tambahan bumbu cerita dan tokoh lain yang jadi penghias tulisan sebagi imajinasi penulis.

I. lelaki dalam keramaian

Pasar tradisional ini sebenarnya terletak di belakang pusat pertokoan di jantung ibukota sebuah kecamatan yang cukup padat penduduknya. Belum bisa dikatakan sebuah kota bila dibandingkan dengan kota-kota yang pernah kita kunjungi atau setidaknya kita bayangkan. Selain karena letaknya cukup jauh dari ibu kota kabupaten juga karena belum semua fasilitas bisa dijumpai di “kota kecil” ini. Jangan harap anda temukan angkutan kota yang melayani rute-rute ke desa atau wilayah sekitarnya. Hanya bus-bus ukuran tiga perempat yang boleh dikatakan lalu lalang cukup sibuk melewati wilayah ini. Dan tentunya ojek akan mudah dijumpai di tempat ini yang akan mengantarkan anda ke daerah sekitarnya yang tidak dilewati angkutan umum. Sebuah masjid besar atau kaum, gedung olahraga, lapang alun alun, dan komplek pertokoan termasuk supermarket bisa kita jumpai di wilayah ini. Rasanya sudah biasa orang disini mengatakan daerah ini adalah daerah pasar walaupun yang dimaksud adalah misalnya tempat foto kopi yang berada tidak jauh dari daerah ini.

Perkembangan jaman rupanya telah menyulap daerah ini menjadi cukup padat dengan pertokoan dan menjadi sebuah daerah yang penuh dengan dinding-dinding beton menjulang. Namun tidak untuk keadaan pasar tradisionalnya, dari dulu sejak awal tahun delapan puluhan sampai kini keadaannya masih tetep kumuh layaknya pasar tradisional lainnya. Mungkin yang boleh dikatakan berubah adalah bangunan dan kios atau los didalamnya yang telah sedikit mengalami renovasi. Saat ini kesibukan dan keramaian akan menghiasi wilayah pasar ini hampir tiap hari. Dan puncaknya akan terjadi dalam dua hari setiap minggunya. Senin dan Kamis adalah hari yang ditetapkan sebagai hari utama kegiatan pasar ini. Dan tentu saja itu akan berimbas pada kesibukan kendaraan pengguna jasa angkutan, baik barang atau manusia termasuk angkutan ojek. Namun jangan pernah bandingkan dengan keadaan pada awal tahun sembilan puluhan saat pasar ini dikenal sebagai pasar Senen. Setidaknya menurut orang orang yang pernah mengalami kehidupan pada saat itu. Boleh dikatakan saat itu adalah saat keemasan pasar tradisional ini. Pada hari Senin akan dijumpai ramainya kegiatan jual beli yang memadati sampai pinggir jalan. Pedagang sayuran, bumbu dapur, pakaian, buah buahan sampai tukang sulap yang menjual obat akan ramai dipadati calon pembeli. Dari mang Yoyo penjual buah-buahan dan sayuran, mang Iding penjual sate, mang Ujang pelopor penjual es batu, mang Haeli penjual terasi dan bumbu dapur, sampai Pak Legeg si penjual obat-obatan akan sangat dikenal saat itu. Bahkan anak-anak sekolah biasanya banyak yang kesiangan hanya karena terlalu lama nongkrong di pasar melihat tukang sulap atau melihat Pak Legeg bercerita bak penyair yang dengan gaya khasnya. Walaupun kini keramaian itu bisa terjadi tiap hari tapi mungkin tak akan pernah mengalami lagi saat saat dimana pedagang pasar sibuk menghitung keuntungan. Setidaknya itu yang pernah dikatakan mang Maman si penjual alat pancing yang kini telah gulung tikar.

Namun ada satu hal yang tak berubah dari pasar ini. Dan itu akan selalu dikenang sampai kapanpun oleh orang yang pernah mengalami pergi ke pasar ini baik saat masih kecil atau saat ia dewasa saat itu. Sebuah ikon yang tak kan pernah tergantikan. Dan jangan terkejut bila dia bukan pejabat atau tokoh masyarakat, dia adalah seorang lelaki yang setia menjadi penghuni atau menjadi saksi hidup pasar ini sampai sekarang. Lelaki invalid atau cacat fisik bahkan mungkin secara ekstrim ada orang yang mengatakan dia pun mengalami sedikit gangguan mentalnya. Entahlah, rasanya tidak ada yang tahu betul akan hal itu. Kalupun mungkin hanya segelintir orang yang tahu betul sejarah lelaki ini. Orang hanya mengenalnya sebagai lelaki yang tidak dapat berjalan normal bahkan boleh dikatakan ia hanya berjalan ngesot, dengan gerakan-gerakan tangannya yang seperti kejang, mulutnya yang sering mengeluarkan air liur yang meleleh tanpa bisa ia tahan, dan bicaranya yang tidak jelas cenderung seperti orang gagu yang menggumam cukup menjadi ciri lelaki ini. Asal-usulnya pun tidak banyak yang tahu atau perduli. hanya orang-orang dulu yang cukup tua mungkin tahu dari mana ia berasal Hampir tiap hari pasar dia akan selalu hadir untuk sekedar duduk di sekitar pintu masuk pasar atau kadang hilir mudik dengan gaya jalannya yang khas, maklum kadang ia juga sering disuruh untuk mengantarkan sesuatu barang atau pesan pedagang lain dalam pasar. Dan ia akan banyak mendapatkan rejeki pada hari pasar itu, baik berupa makanan atau uang yang sukarela diberikan oleh pengunjung atau pun pedagang itu sendiri.

Hopidin atau orang lebih mengenalnya Hopid atau si Hopid, anak kecil sering memanggilnya Upid. Jangan pernah sebut ia pengemis atau orang yang menjual kecacatan demi sekedar mendapatkan uang. Sungguh ia tidak seperti itu. Hopid tidak seperti pengemis yang kita bayangkan. Dia tidak menengadahkan tangannya pada setiap orang atau menghiba dengan tangisan agar orang merasa kasihan dan memberikan sekedar uang receh padanya. Sungguh tidak begitu, dia hanya duduk dengan kotak kecil atau kaleng disampingnya, dan orang yang melihatnya akan otomatis menyisihkan sebagian uang recehnya untuk Hopid. Bahkan ada orang yang pergi kepasar memang sudah menyiapkan recehnya untuk diberikan pada Hopid. Seperti kita yang sudah menyiapkan receh anda untuk disumbangkan pada kotak amal di mesjid waktu jum’atan misalnya. Dan itu terjadi begitu saja, entah sejak kapan ia disana,. Tak pernah ada keluhan berlebih yang mencuat atas dirinya. Orang mengenalnya sebagai pribadi yang baik yang punya keterbatasan secara fisik dan mental. Boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang pernah kasar atau berbuat jahat padanya. Hopid sudah dianggap penghuni tetap pasar ini, bahkan ada orang yang menganggap dia adalah seorang wali atau orang sakti yang diturunkan dengan kondisi serba kekurangan. Entahlah yang jelas yang dalam keseharian mungkin ia sering ikut membantu petugas kebersihan untuk ikut menyapu atau membuang sampah yang berserakan. Tentunya dengan segala keterbatasan pada fisik dan mentalnya.

Saat ini dia telah menua seperti kita, walau tetap sebagai Hopidin yang dulu bagi orang yang mengenangnya. Tak banyak yang tahu secara persis bagaimana ia ternyata telah begitu matang mempersiapkan masa depannya. Dari pertama ia menjadi penghuni pasar itu sejak puluhan tahun lalu sampai kini ia ternyata menyisihkan hampir semua pendapatan atau rejekinya yang ia titipkan pada seorang tokoh yang cukup berpengaruh di daerah ini. Jangan pikirkan ia seorang yang royal untuk membelikan semua rejekinya dengan beli makanan enak atau membeli pakaian yang mahal. Jadi bila iseng menghitung berapa kekayaan Hopid mungkin secara matematis kita bisa sedikit memperkirakannya. Taruh bila ia menyisihkan sebesar 50.000 rupiah setiap minggu selama tiga puluh tahun ini mungkin bisa diperkirakan berapa uang dia. Dengan asumsi setahun adalah 52 minggu ia mengumpulkan tabungan kira kira sebesar 2.600.000 rupiah. Kali 30 tahun, sungguh nilai fantastis untuk seorang yang cacat dan tidak bisa bicara jelas, dan itu baru hitungan kasar sebesar 50.000 rupiah, bagaimana jika ia menabung sebesar 100.000 rupiah per minggu?. Dan bila anda seorang lelaki di kampung ini dengan uang sebanyak itu mungkin cukup untuk membuka bisnis baru atau bahkan untuk melamar isteri baru. Tapi bagaimana dengan Hopid?, entahlah bahkan untuk saat ia mulai menua dan mengalami sakit atau mungkin ia mengalami hal yang tidak diharapkan, apakah orang sudah memikirkan bagaimana ia menikmati semua itu, atau siapakah yang akan mengurus dia. Pernahkah ada orang yang berfikir untuk membuatkan rumah dengan uang jerih-payahnya. Atau adakah orang yang mencarikan Hopid calon isteri yang akan berbagi dan mengurus hidupnya.

Kadang sesuatu terjadi tanpa kita ketahui, dan itu kini menimpa Hopid. Tanpa diketahui sebabnya kini ia melakukan hal aneh, atau lebih tepatnya ia mengalami suatu kejadian aneh. Hopid tiba-tiba mengurung diri di sebuah sudut los didalam pasar. Ia tidak mau melaksanakan aktifitas rutinnya. Bahkan yang lebih menghawatirkan ia melakukan mogok makan. Mungkin cara demontrasi yang mirip dilakukan mahasiswa atau tokoh politik yang lebih beradab. Ia hanya makan dan minum saat maghrib atau menjelang shubuh saja, itupun hanya sekedarnya. Ia hanya terdiam dan menutup matanya. Tidak pernah sekalipun menjawab dengan suara gagunya atau memberikan isyarat atas apa yang diinginkannya. Warga pasar resah, termasuk warga sekitar pasar jadi merasa kehilangan sesuatu. Mereka mulai takut aset berharga mereka mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Warga sekitar berusaha mencarikan solusi dan mengobati Hopidin agar kembali seperti sedia kala. Tokoh agama, paranormal, dokter sampai tokoh masyarakat yang dianggap tahu di wilayah ini didatangkan.

Tokoh Agama, kiayi dengan dibantu santri-santrinya melakukan pengobatan dengan membacakan berbagai do’a dan bacaan ayat-ayat suci termasuk di rukyah, menurutnya mungkin saja Hopid kena gangguan jin yang jahat. Namun usaha kiayi itu belum mendapatkan hasil. Dokter yang ada di wilayah kecamatan pun dipanggil. Hopidin diperiksa dan diberikan obat serta vitamin. Namun sang dokter pun hanya geleng-geleng kepala dan heran karena Hopidin tetap tidak mau makan obat. Sebagian warga mendatangi paranormal terkenal didaerah itu yang katanya sering menjadi penasihat spiritual atau kebatinan bagi pejabat bahkan artis terkenal. Demi Hopid ia pun rela melakukan ritualnya tanpa dibayar. Namun lagi-lagi Hopid tidak berubah. Entah sudah berapa kotak kemenyan yang ia bakar, entah sudah berapa rupa kembang yang ia taburkan, dan entah ramuan bau pesing apa yang ia percikan, Hopidin masih tak bergeming. Menurut paranormal ini Hopidin kena gangguan wewe jendol wanita mahluk halus penunggu pasar yang ingin kawin dengan Hopid.

Peristiwa yang terjadi pada Hopidin ternyata efeknya sangat dahsyat, warga terus ramai membicarakan hal ini. Seperti virus ganas yang menyerang, maka berita tentang Hopidin terus menyebar seperti efek salju berguling. Entah sudah berapa wartawan yang berusaha mewawancarai Hopid, namun semuanya tidak mendapatkan cerita selain cerita yang simpang siur dari warga. Begitu ramainya sampai berita Hopid mengalahkan berita tentang selebriti yang tersandung kasus video mesum. Warga semakin gelisah dan penasaran. Gelisah karena takut aset yang legendaris ini akan pensiun dan terus melakukan aksinya. Penasaran karena sampai saat ini belum ada yang bisa menyembuhkan atau mengembalikan keadaan Hopidin. Seorang tokoh masyarakat mantan guru berpendapat mungkin Hopidin hanya sedang jenuh atau bad mood dengan hidupnya, bisa jadi Hopidin merasa kurang diperhatikan oleh warga sehingga ia menjadi seperti saat ini. Masuk akal, namun warga sendiri bingung apa yang menjadi penyebab dan bagaimana solusinya belum ada kejelasan. Warga hanya berharap ada keajaiban yang bisa mengembalikan keadaan Hopidin. Hampir tiap hari warga mengunjungi atau sekedar menengok keadaan Hopidin. Boleh dikatakan kini Hopidin menjadi sarana hiburan baru yang banyak dikunjungi terutama oleh mereka yang tidak mampu mengunjungi tempat hiburan yang berbayar seperti ke pantai, ke kolam renang atau nonton film misalnya. Tak sedikit juga warga yang memberikan recehan atau sekedar makanan yang diletakan dekat Hopidin.

II. gadis dalam keresahan

Di debuah kota yang sangat kontras dan berjarak ratusan kilometer dari “kota kecil” tempat ia lahir dan dibesarkan. Sebuah kota metropolitan yang selalu hidup dengan segala aktifitas yang tak pernah mati. Kota besar yang tak pernah tidur disaat sebagian penghuninya sudah dibuai mimpi oleh ketidak berdayaan setelah letih membunuh waktu yang selalu menyuguhkan hari esok yang selalu sama. Surga yang nyaman bagi kaum borjouis dan hedonis untuk menaburkan impian indahnya atas keresahan yang menggelayuti hasratnya. Kota ideal bagi klan kapitalis untuk menghamparkan cluster-cluster bisnisnya. Kota yang menawarkan keindahan yang masih semu bagi sebagian besar kaum marjinal yang nenek moyangnya adalah pemilik kota ini. Kota yang merupakan pelabuhan menarik serta memberikan imbalan menjanjikan bagi pendatang-pendatang yang menyukai tantangan. Namun kota ini sesungguhnya juga menjadi tempat suaka bagi kelompok yang tersingkir oleh seleksi alam dan tertindas sistem yang belum memihaknya. Jangan bandingkan dengan kampung yang melahirkan dan membesarkan gadis ini. Jangan membayangkan hanya bus kecil dan ojek yang memadati jalanan dan garasi penghuninya. Sungguh semua kendaraan berbahan bakar fosil dengan berbagai bentuk dan merek yang hampir semuanya produksi negeri lain telah menutup keindahan permukaan bumi di kota ini. Semua fasilitas tak bergerak yang menawarkan penghuninya untuk bergerak mendatanginya lengkap tersedia di kota ini.

Fasilitas kebugaran seperti panti pijat dan sauna menjamur sebagai jawaban untuk menjaga dan mengembalikan kondisi penghuni kota ini karena terlalu sibuk atau capai bekerja, jangan bayangkan dipijat oleh kakek tua atau nenek kriput. Disini pemijatan akan ditangani ahli yang masih muda, cantik, dan sedap di pandang tentunya. Bukan memakai balsem yang panas menyengat kulit seperti dikampungnya, tapi seperti pijat shiatsu misalnya akan mengunakan krim khusus yang hanya bikin panas hati bagi sebagian orang yang tak mampu membayarnya. Dan bila mau coba, untuk para pria ganjen bisa menemui panti pijat khusus plus-plus yang bisa ditemui dengan mudah walau tak semudah mencari rumah makan enak, memberikan pijatan dengan plus layanan esek-esek dan plus harga yang lumayan tinggi tentunya. Tempat untuk mempercantik diri bertebaran di semua sudut kota, dari hanya sekedar memperindah muka,membuang flek hitam, memutihkan kulit gelap jadi pucat, mengencangkan kulit keriput, membuat hidung pesek jadi mancung, membuat dada flat jadi membusung, sampai yang cukup ekstrim membuat gadis cantik jadi gagah dan lelaki tampan jadi kemayu semuanya bisa didapatkan. Dan penggemar hiburan malam akan dimanjakan dengan keremangan lampu diskotik atau night club dengan sajian musik menghentak dan goyangan penari muda yang seksi. Jadi jangan risaukan bila kulkas atau lemari pakain gadis ini kosong. Pasar modern, supermarket, mall, dan boutiqe bertebaran menyediakan segala keperluannya. Jauh berbeda dengan pasar tradisonal dikampungnya yang hanya ada satu dan kini hampir tergusur oleh maraknya pasar modern. Namun tempat itulah satu-satunya tempat yang banyak menyimpan kenangan indah. Sebuah pasar dikampungnya dengan penghuni favoritnya yang tidak pernah ia lupakan.

Tepat di jantung kota besar inilah kini gadis ini sedang bermukim dan bekerja. Dikota inilah ia mempraktekan ilmu yang diperolehnya saat kuliah. Sebenarnya dikampung atau dikotanya sendiri ia bisa saja bekerja dengan nilai ipk yang lumayan bagus itu serta koneksi ayahnya tentunya. Namun sifat keras kepalanya yang ingin mandiri dan rasa ingin tahunya akan dunia luar yang besar menjadikannya berlabuh dikota ini empat tahun yang lalu. Dengan menempati sebuah kamar kontrakan di sebuah apartemen, lebih tepat dikatakan petak-petak yang berdempetan dengan penghuni lainnya dalam sebuah blok tidak jauh dari kantor tempatnya bekerja, Ia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya dengan bersenda gurau bersama tetangga kamarnya, melakukan interaksi sosial dengan teman dunia mayanya, atau malah mengurung diri dengan menonton televisi. Kini kota besar ini sepertinya sudah menjadi detak jantungnya. Namun selalu ada kerinduan yang menyelesup di sisi-sisi relung hatinya yang selalu merindukan untuk kembali kekampungnya suatu saat. Kembali pada suasana penuh tawa bersama keluarganya. Dan kembali mengunjungi tempat bermainnya, pasar tradisional dekat rumahnya dengan satu penghuni favoritnya. Seorang lelaki yang teramat istimewa baginya.

Arini, nama gadis cantik sedikit tomboy ini. Gadis yang masih kelihatan belia di usianya yang mendekati dua puluh delapan ini. Secara lahiriah Arini adalah gadis kampung yang cantik, dan gaya hidupnya yang teratur serta perawatan kecantikan yang rutin ia jalani menjadikannya ia jauh tampak lebih muda dari usianya. Tak sedikit teman-temannya yang belum tahu menyangka ia paling tidak berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Bahkan pernah ditaksir dan hampir berpacaran dengan seorang mahasiswa berusia dua puluh dua tahun yang bertemu secara tak sengaja dalam angkot saat pulang kerja. Hanya karena pola pikir dan gaya hidup yang tak sejalan membuat ia melupakan lelaki muda itu. Suka tertawa sendiri bila ia ingat kejadian itu. Bahkan seorang rekan kerjanya yang lebih muda dua tahun saat inipun sepertinya sedang mendekatinya. Namun entah mengapa Arini merasa tak tertarik sedikitpun dengan lelaki tampan yang berasal dari Palembang ini. Bukan karena ia membenci lelaki itu, mungkin karena ia sepertinya sengaja dijodohkan rekan-rekan kerjanya yang hampir semuanya sudah menikah atau setidaknya sudah punya pacar. Teman-teman kerjanya mungkin berniat baik melakukan hal itu, namun bagi Arini malah hal itu menjadikannya jadi seperti terpaksa. Dan ia tidak menyukai hal seperti itu.

Rasa lelah dan cape sepulang kerja tak membuat Arini tidur cepat malam ini. Cuti panjang yang ia ambil dan telah disetujui atasannya membuat ia malah sibuk malam ini. Memeriksa barang-barang atau pakaian yang mungkin ketinggalan, membereskan perlengkapan yang mungkin akan dibawa, serta merapikan perlengkapan yang ditinggalkan agar tidak acak-acakan saat kembali nanti. Esok hari ia berencana pulang kampung setelah dua hari sebelumnya ibunya menelepon dan memintanya untuk segera pulang dulu ke kampungnya. Tanpa ada telepon dari ibunya pun sebenarnya Arini sudah merencanakan untuk mengambil cuti dengan berlibur dikampungnya. Sudah cukup lama ia tidak pulng kampung dan menengok keluarganya. Rasa rindunya sering muncul tiba-tiba belakangan ini. Telepon dari ibunya yang kelihatan penting sekali membuatnya segera mebgambil cuti untuk pulang kampung. Namun Arini heran dengan adanya telepon dari ibunya, sepertinya ada hal lain yang sangat penting akan disampaikan keluarganya. Ataukah hanya pertanyaan klise yang sudah sering didengarnya setiap keluarganya menelepon atau setiap ia pulang kampung. Obrolan seputar jodoh atau calon suaminya yang selalu ditanyakan oleh orangtuanya. Sungguh hal yang kadang sangat bosan untuk dijawab. Ataukah ada hal lain yang belum ia ketahui?. Dan untuk menghabiskan rasa penasarannya ia mencari jawaban dengan menelpon kakaknya dan adiknya yang ada dikampung.

Setelah dirasa semuanya beres, Arini menjatuhkan dirinya di ranjang satu-satunya yang ada di kontrakan itu. Terasa nyaman namun sungguh belum dapat membuatnya langsung tidur. Ingin rasanya ia segera terbang ke alam mimpi dan bangun keesokan harinya untuk segera pulang ke kampungnya. Namun dalam otaknya masih terus berkecamuk berbagai hal yang malah membuatnya termenung. Kerinduan yang sangat terhadap keluarganya dan kampungnya bercampur dengan keengganan bila harus menghadapi berbagai pertanyaan seputar kehidupan dirinya. Arini menyadari diusianya yang saat ini boleh dikatakan telah melewati masa remajanya, hampir semua rekan seangkatannya telah menikah dan mempunyai anak. Bukan keinginannya untuk terus melajang seperti saat ini. Walau ia sendiri tidak terlalu mempersoalkan status dirinya dan sadar betul bahwa takdir seseorang itu sudah ada yang mengatur, namun rasa khawatir kadang muncul begitu saja. Dan bila orangtuanya mengkhawatirkan dan mendesaknya untuk segera menikah ia pun memakluminya. Namun apakah mencari jodoh dan menikah semudah mencari pakaian bagus yang dapat segera ia peroleh di factory outlet atau boutiqe langganannya?.

Hal itulah yang sulit ia jelaskan walau ayahnya mungkin bisa memahami hal ini. Arini jadi teringat masa-masa remajanya dulu, saat SMA di kampungnya boleh dikatakan ia merupakan gadis cantik yang supel walau mungkin bukan termasuk lima besar gadis favorit tercantik disekolahnya. Tapi dengan otaknya yang lumayan encer dan sifatnya yang ramah dan mudah bergaul membuatnya banyak dikelilingi lelaki. Sempat empat kali ganti pacar teman sekolahnya, hampir semuanya tak meninggalkan bekas dihatinya. Sekedar cinta monyet dan cinta lokasi yang prematur mungkin perasaan yang terjadi saat itu. Hanya satu yang terakhir mungkin lelaki yang sedikit membuat dirinya sempat menangis, lelaki yang menjadi pacarnya saat beberapa bulan lagi menjelang keluar sekolah. Walau tidak pernah putus, komunikasi dengan pacarnya tak terjalin lancar karena jarangnya bertemu dan jarak yang berjauhan saat melanjutkan kuliah. Belum lagi keluarga pacarnya yang berpindah tempat tinggal ke kota lain. Kabar terakhir yang diterimanya cukup mengejutkan terjadi beberapa hari menjelang Arini memutuskan bekerja di kota ini. Pacarnya ternyata akan menikah dengan wanita yang juga teman sekelasnya waktu sekolah. Sungguh menyakitkan menerima kenyataan itu, namun seperti biasa ketegarannya membuat Arini bisa melupakan peristiwa itu.

Sebenarnya babak baru yang bisa merubah status singlenya seperti di situs jejaring sosial yang selalu ia update mungkin saja bisa berakhir dengan berpacaran, bertunangan bahkan mungkin menikah, kalau seandainya saja lelaki bekas teman sekolahnya yang baru beberapa bulan menjalin komunikasi secara tak sengaja di situs jejaring sosial itu jantan. Ya seorang lelaki yang sekilas ia kenal saat sekolah sebagai lelaki alim dan cukup pintar itu, tiba-tiba muncul dalam hidupnya setelah beberapa hari kenal di internet. Rupanya lelaki itu mengenal betul Arini, mengiriminya beberapa pesan romantis, dan terakhir secara mengejutkan menyatakan cinta terhadap dirinya. Sungguh Arini belum memberi keputusan. Antara heran, bahagia, dan terkejut bercampur jadi satu. Lelaki yang pernah ia kenal waktu sekolah dulu sebenarnya masuk kriterianya. Ganteng, romantis, dan mungkin masih taat beragama. Tapi Arini adalah gadis realistis, baginya cinta bukan dunia maya yang terasa indah saat chatting saja, ia ingin lelaki itu jantan dan mau bertemu dengannya. Soal nanti cocok atau tidaknya tentu saja waktu dan takdir yang akan menjawabnya. Namun dengan alasan kondisi pekerjaannya lelaki itu beralasan belum bisa bertemu, namun menjanjikan akan menemui dia dan keluarganya saat Arini pulang kampung. Sesuatu yang mau tidak mau menambah beban pikirannya saat ini dan mungkin nanti saat dikampungnya.

Separuh perjalanan menuju kampungnya sebentar lagi terlewati ketika ia terbangun dari tidurnya dalam sebuah bus antar kota antar provinsi yang ia tumpangi hampir sampai pada terminal di kotanya. Rasa kantuk yang sangat karena semalam kurang tidur membuatnya lebih banyak menghabiskan perjalanannya dengan tidur dalam bus ber AC ini. Segelas air minum yang diberikan awak bus ia habiskan. Cukup membuatnya sedikit segar walau belum menghilangkan kegalauan yang malah menyerangnya saat hampir sampai kotanya. Sebagai gadis biasa yang juga punya sifat rapuh, beberapa persoalan yang menggelayut dibenaknya membuat Arini cukup merasa galau saat ini. Status dirinya yang belum punya calon pendamping kadang membuatnya mati kutu bila ada yang bertanya, teman kerjanya yang sedang mendekatinya membuatnya risih bila bertemu, lelaki bekas teman sekolahnya yang telah berjanji akan menemuinya nanti membuatnya ragu dan bingung, dan terakhir telepon ibunya yang mau tidak mau membuat otaknya dipenuhi tanda tanya. Informasi yang berusaha ia peroleh dari kakaknya hanya jawaban yang tidak jelas. Hanya adik laki-lakinya yang memberi tahu bahwa sebenarnya ibunya menelpon untuk segera pulang karena akan memperkenalkan Arini dengan seorang lelaki kenalan ibunya. Mungkin akan menjodohkannya, entahlah adiknya sendiri kurang begitu yakin.

Berganti dari bus besar ber-AC , kini Arini harus duduk dalam sebuah bus kecil penuh sesak dengan hiburan suara musik dangdut yang kadang kalah oleh suara teriakan kernet yang sibuk terus mencari penumpang baru yang mungkin akan naik. Bus ukuran tiga perempat yang akan membawa dirinya dari terminal kotanya menuju kampung halamannya. Duduk berdampingan dengan seorang ibu yang sepertinya sedang memandangnya seperti mengenal Arini. Arini mengetahui akan hal itu, namun ia memejamkan matanya pura-pura tidur. Ia tak ingin ada penumpang lain ada yang mengenalnya dan ngobrol dengannya. Sehingga ujung-ujungnya pasti akan bertanya tentang dirinya, dan itu sangat ia hindari. Lama sekali rasanya perjalanan ini Arini rasakan. Namun tak sedikitpun ia tertidur dalam bus yang sebentar-sebentar berhenti menurunkan penumpang atau malah menaikan penumpang baru. Antara kerinduan yang teramat sangat terhadap keluarganya dan kampung halamannya dengan keengganan dirinya bila harus menghadapi persoalan seputar ke-lajangannya, membuat pikirannya melayang. Entah harus bagaimana nanti ia bersikap. Ia tidak ingin mengecewakan lelaki bekas teman sekolahnya, terlebih ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Namun ia belum punya jawaban yang membuatnya tenang. Tidak mau berlarut-larut dalam kekusutan pikirannya ia berusaha mengingat hal-hal yang yang pernah menjadi kenangan indahnya di kampung.

Kenangan masa kecil dan remajanya yang begitu indah, jarang dihiasi air mata kesedihan. Arini tersenyum bila mengingat masa itu, sebagai gadis kecil yang sedikit tomboy ia banyak menghabiskan waktunya dengan bermain bersama teman-temannya termasuk teman-teman lelakinya. Dan satu tempat dengan satu tokoh uatama akan selalu diingatnya. Pasar yang tidak terlalu jauh dari rumahnya adalah tempat favorit dirinya untuk main atau sekedar melihat-lihat keramaian. Melihat pedagang yang sibuk menawarkan barangnya, melihat pak legeg yang selalu punya gaya khas dalam melakukan kegiatan usahanya, atau melihat tukang sulap yang begitu mempesona dalam aksinya untuk mempromosikan jualannya. Dan tentunya Arini bersama temannya akan menonton dan melihat seorang lelaki lucu yang biasa berada dipasar dengan kaleng berisi uang recehan pemberian pengunjung pasar. Lelaki cacat yang kadang sering ia isengi dan diolok-olok bersama temannya. Namun lelaki itu belum pernah marah, malah sering mempertontonkan “kelebihan”nya dengan bergoyang kaku seperti orang kejang. Sungguh anak-anak senang melihat itu. Dan kadang Arinipun merelakan uang jajannya masuk pada kaleng lelaki itu. Menginjak usia remaja kebiasan Arini itu tidak hilang, ia masih sering bermain kepasar untuk melihat Hopid, nama lelaki cacat itu. Dan tentunya diusianya itu ia tidak lagi melakukan hal-hal konyol terhadap Hopidin. Ia hanya memberikan uang recehnya atau sekedar menyapa Hopidin. Dan Hopidin pun sepertinya sudah mengenal Arini. Sebagai gadis yang menginjak remaja sebenarnya sedikit janggal bila Arini rela menggantikan ibunya belanja kepasar hanya untuk sekedar menjumpai dan memberikan uang receh pada Hopidin. Tapi itu adalah kegiatan favoritnya. Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang, apakah masih seperti dulu, sehat dan selalu membuatnya tertawa?. Sungguh memikirkan itu malh membuat Arini kadang lebih merindukan suasana pasar danHopidin-nya dari pada intonasi kepada kampungnya sendiri.

Lamunan tentang Hopidin terhenti ketika kondektur menyentuh tangannya dan meminta ongkos, “ kemana neng? Eh ini kayaknya si eneng yang rumahnya deket pasar itu yah?”. Arini hanya menganguk tersenyum sambil memberikan ongkos pada kondektur itu yang cekatan memberikan kembalian ongkosnya. Arini berniat memejamkan matanya lagi, namun ibu disampingnya malah berkata sambil memegang tangan Arini. “Oh, alah.. ini teh neng Rini yah, baru ingat ibu sekarang, aduh si eneng cantik banget sekarang sampai ibu pangling”. Arini berusaha tersenyum dan menatap ibu itu, “oh iya bu saya Arini, dan ini ibu…”. “Ibu Enok…, ibu kan temannya ibu neng Rini, dulu sering ke rumah neng Rini, tinggal dimana neng Rini sekarang? Kok ibu jarang melihatnya, dikota yah?”, Arini hanya mengangguk dan menjawab singkat menyebut kota tempatnya bekerja. Dan si ibu itu masih terus mengejarnya dengan kata-kata, “aduh hebat pisan atuh, sudah menikah neng? Koq suaminya gak ikut?”. “gak bu, saya hanya mau nengok orangtua” pertanyaan yang sangat dihindarinya itu akhirnya muncul dalam percakapan ini. Sungguh itu sangat membuatnya sedikit kesal, bukan pada ibu itu, tapi pada dirinya.

Untunglah akhirnya Arini merasa lega sebab terdengar kondektur meneriakan kata “pasar habis” dengan lantang dan berulang ulang, itu artinya sebentar lagi ia akan turun karena jalan kerumahnya adalah di gang sebelum pasar ini. Sambil menunjukan barang-barang bawaanya ia meminta bus berhenti pada kondektur. Sedikit lega rasanya ia telah sampai dikampungnya. Kampung yang sangat dirindukanya ini. Dengan pasar dan Hopidinnya yang selalu mengobati kesedihanya, dengan segala persoalan tentang dirinya dan status single-nya tentu saja akan membawa cerita baru yang bisa mengobrak-abrik perasaannya. Namun itu belum dipikirkan Arini sekarang. Kerinduan pada kampungnya serta keluarganya yang mungkin sedang menanti kedatanganya adalah perasaan yang mesti ia lampiaskan saat ini. Soal nanti urusan yang lain, entahlah ia merasa capek memikirkannya……

III. pertemuan yang mendebarkan

musim kali ini
daun-daun tak lekas mengering dan berjatuhan
namun pucuk muda tak kunjung muncul menyisipkan tunas baru
dan buah-buah lebat itu tak muncul karena bunga hanya tumbuh sesaat
layu dan terdiam membeku tanpa kunjungan kumbang menjelang berkembang
musim kali ini hanya menyisakan nyanyian kodok disawah yang tak diolah
kerbau yang risau terdiam dalam kubangan menanti hardikan tuannya
dan hujan terus mengguyur saat petani membeli beras untuk makan keluarganya

Kepulangan Arini kekampung halamannya disambut dengan suka cita oleh keluarganya. Mereka semua rupanya sudah menunggu saat-saat kedatangan Arini yang telah mengabarinya terlebih dahulu melalui telepon. Dan kini Arini atau keluarganya memanggilnya Rini telah benar-benar berada dirumahnya tepatnya rumah orang tuanya. Lama tidak bertemu dengan keluarganya membuat ia melampiaskan kerinduan yang teramat sangat dengan memeluk erat ibunya lama sekali meminta maaf atas sikapnya bahkan tak sadar ia menangis dipelukan ibunya seperti anak kecil, lalu memeluk ayahnya, kakaknya serta adik-adiknya. Sungguh suatu pertemuan yang mengharukan sekaligus sejenak melupakan segala beban yang menghimpit dadanya. Pertemuan yang untuk sementara melupakan rasa enggan yang selalu muncul bila harus pulang ke kampungnya. Sejenak melupakan kegalauan terhadap sikap Arman teman kerjanya yang sedang berusaha mendapatkan cintanya, sejenak melupakan Andra teman sekolahnya yang juga sedang mendekatinya dan mungkin akan menemuinya di disini, sejenak melupakan lelaki yang belum dikenalnya yang mungkin akan dikenalkan keluarganya, termasuk melupakan dulu kebingungan akan jawaban yang mesti ia ungkapkan terhadap semua itu. Saat ini Arini hanya memikirkan dan meluapkan kerinduan terhadap kampungnya halamannya dan keluarganya.

Hujan masih sering turun secara deras walau secara hitungan sebenarnya saat ini telah memasuki pertengahan musim kemarau. Cuaca sering berubah secara ekstrim beberapa bulan belakangan ini. Bila pagi hari langit cukup cerah dengan mentari yang tak terhalang awan, maka jangan aneh bila tiba-tiba siang harinya turun hujan. Atau bila malam yang bertabur bintang dalam sekejap berubah kelam disusul hujan disertai petir yang tak berhenti sampai pagi. Tentu saja keadaan seperti ini sangat tidak menyenangkan tak terkecuali bagi penduduk sebuah kota kecil ini, atau lebih tepatnya sebuah kampung yang sedikit maju dibandingkan dengan daerah-daerah dipedalaman lainnya di kabupaten ini. Jalanan yang sering basah membuat beberapa bagian jalan mulai rusak. Diperparah dengan banyaknya mobil besar yang mengangkut muatan melebihi ketentuan membuat beberapa bagian jalan seperti menghilang, berlobang dan berlumpur disana-sini. Pasar malam yang biasanya rutin meramaikan pusat kota kecil ini urung diadakan. Lapangan yang becek seperti kubangan kerbau tentunya tak akan menarik minat penduduk untuk berbelanja atau hiburan selain malah lebih merusak kondisi lapang itu sendiri. Dan pasar inpres dijantung kota kecamatan yang merupakan satu-satunya pasar tradisonal yang masih eksis kini seperti menjadi pasar kumuh dengan keadaan yang memperihatinkan. Sampah yang menggunung mengeluarkan bau tak sedap, jalanan yang becek, dan tentunya para pedagang akan kena imbasnya dengan minimnya penjualan. Belum bagi pedagang kecil yang menjual berbagai kebutuhan pokok, cukup merugi dengan keaadan lebih cepatnya barang yang rusak atau membusuk.

Pasar yang yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi pusat perdagangan warga kota kecil ini sepertinya sedang mulai kehilangan pamornya. Sesungguhnya penyebab utamanya bukan oleh cuaca yang ekstrim atau kondisinya yang kumuh, ataupun bukan karena kalah bersaing dengan pasar modern seperti supermarket. Secara budaya pasar ini telah mengakar dan menjadi kebanggaan warga selama berpuluh-puluh tahun yang tentu saja tidak begitu saja mudah dilupakan warganya. Ditunjang oleh wilayahnya yang berada tepat di tengah kota kecamatan yang selalu dilalui oleh hampir semua warga yang lalu-lalang. Sesungguhnya pasar dan mungkin kota kecil ini seperti sedang kehilangan daya tariknya, dan anehnya hanya karena sang ikon yang telah bertahun-tahun menjadi tokoh panutan warga pasar ini sedang kena penyakit aneh dan sepertinya sedang enggan tampil dan melakukan aktifitas rutinnya seperti yang ia biasa lakukan di pasar ini. Hopidin sang ikon dan tokoh utama yang menjadikan pasar ini begitu terkenal, yang hanyalah seorang lelaki invalid dengan segala kekurangan fisik dan bahkan beberapa orang menganggapnya punya kekurangan secara mental. Lelaki yang tak bisa bicara dan berjalan dengan normal cenderung seperti orang kena penyakit ayan dengan liur yang sering menetes tak terkontrol. Lelaki fenomenal yang telah bertahun-tahun menjadikan pasar legendaris ini menjadi rumah baginya. Membantu membersihkan sampah, hilir mudik dengan gayanya yang khas, atau hanya duduk dengan raut muka yang aneh, lucu,serta bicaranya yang sulit dimengerti itu rupanya telah mendatangkan rejeki yang cukup bagi dirinya. Hampir tiap hari pasar dipastkan kaleng bekas biskuitnya akan penuh dengan uang yang didapatkan dari sedekah atau pemberian warga yang ke pasar. Jangan bayangkan Hopidin seorang pengemis, dan semua yang mengenalnya rasanya akan mengatakan kalau Hopidin bukanlah seorang pengemis. Dia disukai semua orang, mulai anak kecil sampai orang yang sudah renta, mulai dari pedagang sampai pegawai bank, dari rakyat melarat, aparat, sampai pejabat boleh dikatakan mengenal dan tak pernah memperlakukan Hopidin dengan kasar. Tentunya perilaku nyeleneh dan penyakit aneh yang terjadi pada Hopidin membuat warga pasar ini resah. Pasar seperti kehilangan rohnya.

Perilaku aneh Hopidin yang hanya duduk di dalam sudut los kosong dan melakukan mogok makan dengan puasa tiap hari, mendapat respon dari tokoh masyarakat di wilayah pasar. Semuanya mencari cara agar Hopidin sembuh dan tetap melakukan aktifitas seperi biasa. Semuanya bingung dan hanya menduga-duga penyebab Hopidin menjadi aneh dan berlaku demikian. Seorang tokoh yang dianggap mumpuni dalam bidang agama didatangkan untuk mengobati Hopidin. Dibantu bebrapa santrinya sang tokoh melakukan ritual dan rukiyah untuk mengobati Hopidin, namun sejauh ini Hopidin tak bergeming. Dokter yang didatangkan pun hanya geleng-geleng kepala seperti menyerah karena belum bisa menerka penyakit Hopidin. Dan akhirnya seorang paranormal kondang yang boleh dikatakan telah menjadi guru spiritual para artis pun didatangkan untuk mengobati Hopidin. Namun mantera-mantera saktinya, kepulan asap dupa kemenyannya yang beraneka aroma belum bisa membuat Hopidin menghentikan perilaku anehnya. Hanya sekali Hopidin membuka mata dan berbicara dengan gumaman yang aneh dan tidak dimengerti, tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu, lalu ia menutup matanya lagi seakan tak perduli pada sekelilingnya. Sungguh aneh dan makin membuat bingung. Namun para tokoh terus berusaha mencari cara menyembuhkan Hopidin. Tanpa kenal putus asa mereka mengeluarkan semua kemampuannya untuk membuktikan diri bisa menyembuhkan Hopidin. Seperti ajang perlombaan mereka bergantian menunjukan ilmunya, dan tentu saja itu menarik perhatian hampir semua warga sekitar pasar. Hari berganti hari, berita sakitnya Hopidin dan banyaknya tokoh yang berusaha menyembuhkan menyebar terus di wilayah kota kecil ini. Menjadi bahan perbincangan setiap rumah, menjadi bahan obrolan para pegawai kantor, menjadi bahan gurauan anak-anak yang biasa bermain ke pasar. Semuanya membicarakan kemungkinan penyakit dan perilaku aneh Hopidin. Ada yang berpendapat kemasukan jin, ada yang berpendapat ditaksir siluman gadis penghuni pasar, ada yang berpendapat Hopidin ingin kawin dan ada lagi pendapat yang aneh-aneh dan melebar dari logika. Dan bagi warga yang kurang kerjaan atau yang lagi malas bekerja selalu meluangkan waktu untuk melihat Hopidin yang sedang dikelilingi para tokoh yang mengobatinya.

Begitu pula Arini, setelah beberapa hari menghirup udara kota kecilnya, keresahan yang terpendam lama mulai kembali menggelayuti benak gadis yang mendekati usia dua puluh delapan tahun ini. Walau keluarganya belum secara jelas menyinggung keadaannya yang masih belum mendapatkan jodoh, namun Arini sudah merasakan bahwa dalam setiap obrolan orangtuanya seperti mengarah pada persoalan itu. Bahkan dalam satu obrolan santai kemarin Ibunya sedikit bergurau tentang adanya lelaki satu-satunya anak teman ayahnya yang masih single akan berkunjung ke rumahnya. Namun Arini hanya menanggapinya dengan tersenyum, sedikit getir. Ia memaklumi kekhawatiran dan perhatian orangtuanya terhadapnya. Bahkan kalau mau jujur ia pun kadang risau di usianya yang sudah bukan remaja ini belum mendapatkan calon suami yang sesuai dengan hatinya. Namun sungguh bukan perkara yang mudah memutuskan hal sensitif yang menimpanya ini. Bukan perkara mudah menerima atau menolak lelaki yang akan dikenalkan orangtuanya itu, bukan perkara mudah pula bila memikirkan Arman teman kerjanya yang baru tadi menelpon dirinya dan menanyakan kabar serta titip salam buat keluarganya, dan tentunya bukan hal yang mudah memikirkan Andra mantan teman sekolahnya yang tiba-tiba menelpon untuk memohon maaf karena belum bisa mengunjungi Arini dan keluarganya karena pekerjaan di kantornya belum bisa ditinggalkan. Hanya meninggalkan ucapan “sayang” dan janji untuk segera menemuinya begitu selesai pekerjaannya, malah membuat hati Arini lebih teriris. Sungguh persoalan yang banyak menyita pikirannya. Dan anehnya sekarang bukan karena tidak adanya lelaki dalam kehidupannya, tapi lebih tepat terlalu banyaknya pilihan yang tak pasti yang membuat dirinya terombang-ambing kegalauan. Dengan mata sedikti berkaca-kaca Arini menerawang kembali kehidupannya, lamunan indahnya kembali ia kenang untuk mengobati suasana hatinya ini.

Sedikit senyuman indah menghiasi bibirnya yang tipis dan merona merah ketika ia mengingat kembali masa kecil dan remajanya yang bahagia di kota kecil ini. Gadis kecil yang ceria dan sedikit tomboy, senang bermain dengan semua teman laki-laki seumurannya. Banyak menghabiskan waktu bermain sepulang sekolah dengan bermain-main diwilayah sekitar pasar, dan sering melihat Hopidin yang sedang menjalankan aktifitasnya di depan gerbang pasar, kadang temannya mengolok-olok Hopidin, namun ia malah lebih sering merelakan uang jajannnya masuk ke kaleng bekas biskuit Hopidin. Bahkan Hopidin sering tersenyum dan bergaya dengan joget khasnya bila melihat Arini berada didekatnya, dan Arini akan tertawa bahagia melihat Hopidin yang menari dan bernyanyi dengan suara yang aneh menghiburnya. Saat remaja sampai SMA kebiasaan itu tidak hilang, saat Arini mengenal cinta pertamanya ia masih suka bermain ke pasar dan menjumpai Hopidin sekedar untuk mengasih makanan atau memberikan sebagian uang jajannya. Bahkan saat ia kuliah di kotanya yang cukup jauh dari kampungnya ini, saat Arini sering mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan cinta, tapi ia masih suka menyempatkan paling tidak sebulan sekali melihat dan menemui Hopidin. Masih seperti dulu memberikan makanan kesukaan Hopidin dan tak lupa memberikan sekedar uang yang cukup lebih dari sekedar uang jajannya saat SMP atau SMA. Dan itu ternyata sangat memberinya semangat dan bisa melupakan beberapa kesedihan yang dialaminya bila bertemu Hopidin.

Kabar yang cepat menyebar tentang Hopidin yang sedang menderita penyakit aneh dan sedang melakukan mogok makan cukup membuat Arini terkejut dan waswas. Ada kekhawatiran lain yang dirasakannya, terasa lebih bermakna dari dekedar memikirkan lelaki-lelaki yang sedang dan mungkin akan muncul namun telah mengobrak-abrik jendela hatinya. Ada perasaan yang begitu besar yang mendorongnya untuk pergi ke pasar dan menengok Hopidin si lelaki pujaannya itu, walau belum tahu apa yang bisa dan akan ia lakukan. Namun nuraninya selalu menunjukan bahwa ia harus menengok Hopidin. Sungguh terasa kerinduan akan lelaki itu, kerinduan yang bukan sebuah rasa cinta seperti saat ia pertama mendapat surat cinta dari Hasan, atau rasa yang tidak sama saat ia ditaksir Rudi saat ia sudah kuliah. Satu rasa yang ia sendiri tidak dapat jelaskan, namun begitu kental mewarnai hatinya. Dan saat ini hanya itulah obat yang bisa melupakan kegalauan hatinya. Kerinduan yang begitu tebal mengisi relung-relung hatinya, meronta untuk sebuah nama. Hopidin kini memberikan aroma lain dalam suasana hatinya. Bukan sekedar biru kemudian berubah merah, bukan sekedar putih kemudian kelabu, bukan sekedar merah jambu kemudian menua, tapi ada warna-warna pelangi yang indah dalam jiwanya yang memaksanya untuk menuju kerumunan orang yang sedang menyaksikan sosok Hopidin.

“Bu Rini minta ijin mau bermain ke pasar yah, sudah lama Rini tidak melihat keadaan pasar ini?”, kata Arini tiba-tiba pada ibunya di sore yang cerah itu. “Oh…boleh, mau nengok pasar yah! atau jangan-jangan anak ibu yang cantik ini mau lihat Hopidin?, tumben baru sekarang ingat Hopidin, dia itu sedang sakit dan berperilaku aneh menurut orang-orang mah, sok aja main sana biar segar, tapi awas jangan sampai malem yah!?”, kata ibunya. Jawaban yang cukup membuatnya bahagia. “Tuh kebetulan ada sedikit makanan yang kalau tidak salah itu juga kesukaan Hopidin yang dulu sering kamu berikan, bungkus secukupnya barangkali Hopidin mau makan sedikit pemberian mu!”, kata ibunya melanjutkan. Sepertinya Arini baru ingat ketika ibunya berkata demikian. Sungguh ia juga baru tahu kalau ibunya sebenarnya memperhatikan perilakunya dulu. Dengan segera Arini membungkus makanan dan kue kesukaan Hopidin. Beberapa lembar lima ribuan ia siapkan pula buat diberikan pada Hopidin. Ia segera bergegas menuju pasar dengan sedikit perasaan degdegan menghampiri jantungnya. Sebuah pertemuan dengan seorang lelaki yang sudah lama tak bertemu semenjak Arini kerja di kota besar yang cukup jauh, membuat ia seperti anak kecil yang baru pertama disuruh ibunya pergi belanja kewarung. Ada rasa bahagia namun sedikit bingung. “Awas yah jangan sampai malam, kan nanti ada yang mau datang!” suara ibunya mengingatkan kembali. Arini hanya mengangguk pelan, namun dengan sedikit perasan kurang enak mendengar hal itu.

langkahnya pelan tapi pasti menuju pasar yang sedang ramai dengan warga yang menonton Hopidin yang sedang diobati bergiliran oleh tokoh-tokoh terkemuka di wilayah ini.Langkah anggun seorang gadis cantik yang membawa bungkusan kecil di lengannya, perlahan memasuki kerumunan orang dan sedikit-sedikit menuju ke depan mendekati sosok Hopidin yang sedang terpejam dan dikelilingi tokoh-tokoh yang mengobatinya. Tiba-tiba mata Hopidin terbuka, memutarkan pandangan dan kepalanya ke semua arah, meneliti satu-persatu sosok yang merubunginya. Kedua tangannya bergerak sedikit liar, kaku namun cepat sampai menumpahkan air kembang yang sedang dipegang sang paranormal, kemudian tangannya menyenggol tangan sang tokoh agama yang kemudian menjatuhkan tasbih yang sedang dipegangnya, dan obat-obat yang diberikan dokter pun ia lemparkan. Semuanya terkejut namun terdiam tak bisa berbuat apa-apa atas sikap Hopidin yang tiba-tiba itu. Sejurus kemudian Hopidin tenang dan pandangan matanya serta telunjuk tangannya mengarah pada sesosok gadis yang terdiam mematung, sesosok gadis yang baru beberapa hari kembali ke kota kecil ini. Semua tokoh yang sedang mengobati Hopidin bingung melihat kejadian ini, ilmu kanuragan yang dimilikinya sepertinya luntur oleh gebrakan Hopidin tadi, bahkan Arini pun terkejut dan tak menyangka Hopidin akan berbuat itu dan menunjuk dirinya.

Hopidin menggerak-gerakan tangannya pada Arini dan berbicara dengan suara yang tidak jelas, suara khasnya. Walau tidak mengerti namun seperti ada magnet yang menarik Arini untuk mendekati Hopidin. Hopidin tersenyum pada Arini, kemudian tersenyum pada semua orang yang hadir, menggerak-gerakan kepalanya seperti senang. Arini memberikan bungkusan makanan dan kue serta tiga lembar uang lima ribuan pada Hopidin. Dengan membungkuk hormat dan gayanya yang lucu ia berterima kasih pada Arini. Mencium uang pemberian Arini, membuka bungkus makanan yang diberikan dan tiba-tiba ia makan dengan lahap semua makanan itu, sambil terkadang dengan lucu ia menawarkan pada orang yang hadir. Bahkan paranormal yang masih bengong pun ditawari Hopidin. Namun rasa gengsinya membuat ia malah mundur dan geleng-geleng kepala, mungkin malu. Semua yang hadir bersorak ramai, bahagia melihat Hopidin sepertinya sembuh dan kembali seperti sedia kala. Mereka menerikan kata-kata “hidup Hopidin” atau “hidup neng Arini” berulang-ulang. Setelah selesai menghabiskan makanan yang dibawa Arini, Hopidin berjalan dengan gaya khasnya dan berkata-kata sambil menggerak-gerakan kembali tangannya. Semua warga yang hadir kembali bingung akan maksud Hopidin. Mereka berusaha menerjemahkan maksud Hopidin dengan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa dimengerti Hopidin. Ada yang mengatakan Hopidin mungkin mau duduk didepan pasar, ada yang mengatakan mungkin Hopidin mau berjalan-jalan keliling pasar, bahkan ada yang mengatakan mungkin Hopidin mau di foto bareng Arini. Tapi Hopidin hanya menggeleng, membuat warga yang bingung akhirnya meminta Arini yang dianggap bisa mengobati Hopidin menerjemahkan maksud Hopidin. Sungguh Arini pun tidak tahu maksud Hopidin, namun karena dorongan warga dan nalurinya ia mencoba menerjemahkan maksud Hopidin. “Oh..mang Hopid mau jalan-jalan naik ojeg keliling kota ini?, dan mang Hopid mau bayar dengan uang yang tadi Arini berikan?”, tanya Arini mencoba mencari tahu keinginan Hopidin. Tanpa diduga Hopidin mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Arini, semua warga bersorak kembali dan menaikan Hopidin pada ojeg yang beruntung itu, yah Endut Leweh sang tukang ojeg yang kebetulan nonton mendapat kehormatan untuk membawa Hopidin keliling kota kecil ini sebagai syukuran atas sembuhnya penyakit dan keanehan yang menimpa Hopidin. Dengan diringi semua ojeg dan warga yang naik motor Hopidin berkeliling kota kecil ini dengan penuh bahagia.

Sebuah kebahagiaan pula bagi seorang gadis yang berbunga-bunga pergi perlahan meninggalkan pasar itu menuju rumahnya kembali. Gadis yang bari beberapa hari menengok kota kecilnya ini merasakan sebuah pencerahan yang sangat pada jiwanya. Rasa galau dan cemas yang mengelayut pada benaknya tiba-tiba hilang, brganti dengan sebuah harapan yang menyala dalam menatap masa depannya. Sebelum Maghrib Arini sudah kembali berada dirumahnya, kembali berda disamping keluarga yang menyayanginya. Arini merasakan satu ketenangan yang tiada taranya, sungguh terasa cutinya ini sangat bermakna. Dan bila malam nanti ternyata akan datang seseorang lelaki yang akan dikenalkannya ia rasanya sudah bisa mengambil keputusan dengan jernih, cinta bisa jadi adalah dalam bentuk seorang sahabat, bisa jadi seorang calon suami nantinya, atau hanya sekedar teman biasa. Dan Arini akan berusaha bijak terhadap orang tuanya dan juga terhadap lelaki itu, bukan sekedar Ia mencintai lelaki itu atau sebaliknya, tapi ia dan lelaki itu mesti tahu juga pribadi dan komitmen masing-masing dengan tanpa banyak hal yang sekedar pura-pura. Dan Arini sudah siap dan mantap untuk itu. Bahkan kini ia mantap menghadapi jika esok atau lusa Andra datang ke rumahnya,Arini telah menentukan sikap, bukan sekedar menerima cinta atau menolak, tapi mencintai cinta sesuai kadar yang ia yakini sesuai sariat agama. Termasuk untuk Arman ia telah siap untuk menempatkan porsi yang sesuai dan menentukan sikap bila Arman menelponnya atau saat Arini kembali ke kota tempat bekerjanya. Kini ia telah begitu mantap untuk menempatkan dan memiliki cinta yang mendekati kriteria dan sesuai logika yang tanpa paksaan. Ketulusan, harapan dan penyerahan diri pada Allah adalah kuncinya. Dan itu akan ia utarakan dengan santai dan terbuka pada keluarganya. Dan sungguh kini Arini mantap menghadapi itu. Semantap Hopidin yang kini siap kembali menjalankan aktifitasnya yang rutin. awal juli 2010.

I. HOPIDIN, lelaki dalam keramaian
II. HOPIDIN, gadis dalam keresahan
III. HOPIDIN, pertemuan yang mendebarkan
sengaja di pisah agar tidak terlalu panjang dan terlalu menghabiskan waktu untuk membacanya.
Saran dan kritik sangat saya nantikan ……

Sakura Untuk Gina

Sakura Untuk Gina

Selalu, Gina tersenyum renyah menatapku dan sedikit memperlihatkan deretan rapi gigi putihnya. Bergerak kearahku diantara himpitan penumpang lain yang juga berdiri. Berhenti tepat disamping tempat duduk yang kupakai dan sekali lagi tersenyum, senyum yang sangat kusuka. Kubalas senyumnya dan spontan ku berdiri lalu dengan isyarat tangan mempersilahkan dia menggantikan tempat duduk ku. Dijawab dengan isyarat penolakan halus untuk membiarkan ku tetap duduk, disusul suara cukup indah dari mulut mungilnya, sangat indah menurut ku,”Gak usah repot mas sudah resiko berdiri kalo naik bis kota yang penuh, lagian kan mas belum lama duduknya, entar aja kalo dah nyampe Cicaheum baru gantian“. Seperti sudah lama akrab ujung kalimatnya yang berisi candaan seolah membuat ku merasa betah naik bis kota. Angkutan yang sebelumnya paling benci kunaiki karena selalu identik dengan sesaknya penumpang dan rawannya copet. Akhirnya mau juga Gina duduk menggantikan tempatku setelah aku setengah memaksa mempersilahkan dia duduk. “Terima kasih mas jadi gak enak nih” Disusul dengan kalimat merdu lainnya,” Eng, korannnya boleh aku baca kan“?. Yes, hatiku bersorak pada kalimat terakhir yang kutunggu dan sudah kuduga. Kuserahkan koran yang sebenarnya belum sempat kubaca. Melirik pada ku sebentar disertai senyum renyahnya, lalu tenggelam dan asik menikmati baris demi baris berita dan informasi hari ini. Dan aku tentu saja bisa puas mengamati, memperhatikan dan pastinya menikmati keelokan tubuh mungil berjilbab putih dibalut sweater hijau muda yang serasi dengan celana jeans yang sedikit kusam. Sepatu kasual berbahan kanvas yang dipakainya sudah cukup menyatakan Gina adalah gadis enerjik dan mungkin sedikit lincah. Itu hanya penilaian subjektif ku.

Yap, baru dua hari aku bisa yakin gadis yang sedang asik membaca koran pagi miliku ini bernama Gina, Ginalia Meidiawati lengkapnya, setelah kemarin aku sempat berkenalan saat bisa diduduk disampingnya menggantikan penumpang sebelumnya yang kebetulan turun. Walau pertama kali bersamanya dalam bis kota aku sudah menduga namanya Gina. Secara tak sengaja kulihat tulisan kanji di tas punggungnya yang saat itu belum yakin maknanya. Dan sambil kerja ku manfaatkan fasilitas komputer kantor untuk iseng mencari tahu arti tulisan kanji itu, ya tulisan berbahasa jepang itu hanyalah kalimat sederhana, “namaku Gina, mau tau lengkapnya ya tanya saja“. Aku bersorak kegirangan di depan monitor sampai teman kerja ku Yasir mengumpat dan geleng-geleng kepala atas tingkahku. Dan ketika kemarin ada kesempatan langka untuk duduk disampingnya langsung saja kugunakan dengan efektif untuk lebih mengenalnya. Bahkan kugunakan jurus pamungkasku yang tepat kesasaran. Bukan dengan basa basi penuh kalimat permintaan yang mendayu. “Eh, Gina yah, perkenalkan aku Ahmad, Ahmad Elkatomsy“, kataku penuh percaya diri. Sejenak dia terkejut, “eh kok tahu….jangan-jangan..!!” berhenti dan tertawa kecil ketika melihat telunjuk ku mengarah pada tas punggung yang kini berada diatas pahanya. Akhirnya seperti teman lama aku dan Gina jadi sangat akrab, apalagi dia kelihatan kagum atas kemampuanku mengetahui namanya. Dan bagiku sungguh Gina yang ternyata sedang kuliah tingkat akhir jurusan sastera Jepang itu seperti sosok baru yang menggantikan sosok Pika mantan pacarku yang matre sekaligus posesif yang telah dua bulan putus. Kuputuskan sebenarnya karena bukannya kebahagiaan yang kudapat dengan punya pacar cantik plus tubuh semampai dan bermasa depan cerah, namun kerepotan karena waktuku habis hanya untuk sekedar membalas sms atau ngobrol seputar nama makanan yang harus kumakan agar sehat. Belum harus selalu siap jika dia minta diantar shoping atau sekedar hangout di mall bahkan aku harus rela jadi kambing congek bila dia sedang membahas mantan-mantan pacarnya yang katanya ganteng-ganteng dan anak orang kaya. Bos ku malah sempat menegur aku karena terlalu sering aku ngobrol di handphone saat kerja. Dan saat aku akhirnya memutuskan Pika, lega rasanya hatiku walau banyak teman yang menyayangkan atas keputusanku. Termasuk Pika yang marah besar dan mengancam akan melakukan sesuatu yang akan membuat ku menyesal karena memutuskannnya. Namun keputusanku sudah bulat, dan aku gak perduli karena aku yang merasakan tersiksanya punya pacar yang bernama Pika.

Minggu yang mengejutkan sekaligus menyenangkan dan tak terduga, apalagi baru seminggu ini aku merasakan naik bus kota. Setelah mengalami minggu-minggu yang menyiksa bersama Pika, dua minggu yang lalu aku terserempet angkot waktu naik motor berangkat kerja, beruntung aku hanya mengalami luka kecil di tangan dan lutut akibat jatuh ke trotoar, hanya motorku yang mengalami kerusakan cukup parah. Cukup dua hari aku gak masuk kerja, namun karena tanganku masih terasa sakit dan motorku masih di bengkel aku berangkat kerja tidak bawa motor. Awalnya aku naik angkot ke tempat kerja, namun rute yang jauh dan mesti tiga kali ganti menyebabkan aku memutuskan mencoba naik bus kota. Selain rutenya lurus dan lebih dekat ke tempat kerjaku juga aku tak perlu naik turun ganti kendaraan. Hanya tambahan naik ojek sebentar. Dan hari pertama naik bus kota adalah hari pertama aku bertemu Gina, secara tak sengaja tentunya. Aku naik dari halte Kosambi daerah tempatku kos sedangkan Gina dari halte Cicadas dekat supermarket yang berjarak sekitar tiga kilometer. Kebetulan aku selalu mendapat tempat duduk karena di halte Kosambi penumpang belum begitu banyak, memasuki halte Cicadas barulah penumpang mulai berjejal. Mataku langsung terpana begitu melihat gadis mungil berjilbab yang rela berdesakan untuk sekedar berdiri di jalur dengan tubuh sedikit menyandar pada sandaran kursi yang kududuki. Tentu saja sebagai lelaki walaupun aku berhak untuk terus duduk, naluriku mengatakan untuk mempersilahkan gadis yang kutaksir umurnya lebih muda empat tahun dariku itu. Seperti hari ini awalnya dia menolak. Yang membuatku terkesan adalah ketika secara sembunyi-sembunyi kulihat matanya memperhatikan koran yang kupegang, koran yang sengaja ku beli sebagai penawar kejenuhan di bus. Lagi-lagi naluriku mengatakan untuk mempersilahkan dia membaca koran miliku. Toh tak rugi karena dalam posisi berdiri aku sendiri gak bisa membacanya. Rupanya dia hobi membaca terutama membaca berita-berita yang berhubungan dengan berita sosial politik, kutahu setelah aku memberanikan sedikit berbasa-basi. Agak kagok juga pertama meminta koran yang sedang dibacanya ketika aku harus turun duluan karena tujuanku telah sampai. Namun dia dengan ramah dan tentu saja dengan senyum manisnya menyerahkan koran itu ketika aku berteriak berhenti pada kondektur. Hari-hari selanjutnya sungguh menjadi hari yang indah dan kutunggu agar aku bisa bareng naik bus kota. Sungguh beruntung dalam seminggu ini termasuk hari ini aku telah empat kali bisa berdekatan dengan Gina. “Eh mas Ahmad, udah hampir sampai tuh!, nich korannya dah Gina beresin, makasih yah!” ufs, aku terkejut, mengambil koran yang disodorkan Gina, dengan senyumnya yang tetap menawan. Kutatap matanya sekilas, kulihat ada sorot harapan. Entahlah mungkin perasaanku saja. Namun itu sudah cukup memantapkan tekadku untuk terus bisa berkenalan lebih dekat dengannya, sukur-sukur bisa menjadi calon suaminya kelak, calon pacar tepatnya. Bah, langkahku terasa ringan dan semangat ku bangkit lagi. Hanya otakku terus berpikir agar aku bisa lebih dekat dengan Gina. Aku bersiul riang sehabis makan siang di kantin ketika benakku menemukan solusi yang kupikir tepat.

Senin yang cerah secerah hatiku memandang jalanan pagi yang cukup sibuk dengan lalu lalang pengguna jalan. Sengaja aku berangkat kerja lebih pagi dari biasanya karena aku takut kesempatanku hilang begitu saja. Tetangga kosku malah sempat bercanda karena gak biasanya aku pagi-pagi buta sudah rapi. Motor empat langkah yang masih gesit dan trengginas walau bukan baru, lincah melaju disela-sela angkot, bus kota dan pengguna motor lain. Tidak berapa lama aku sampai pada halte bus yang kutuju, halte dimana Gina naik bus kota. Berhenti dan mataku aktif mencari-cari gadis berjilbab yang telah membuat ku semalaman gak bisa tidur. Nihil, kulirik jam tangan ku dengan perasaan khawatir takut salah waktu. Masih kepagian, hiburku sambil terus memperhatikan calon penumpang yang akan naik bus kota. Sepuluh menit yang terasa seperti berjam-jam dengan pikiran yang masih terus berharap didepan ku ada gadis berjilbab yang tersenyum ramah. Hingga tiba-tiba dari arah belakang dan kini telah berdiri disampingku ada suara yang ku kenal menyapa lembut tapi sangat mengejutkanku,”Eh mas Ahmad, tumben naik motor, dah sehat yah?. Kulirik sejenak meyakinkan pada sebuah wajah yang kukenal, lalu membalas sapaannya,”Eh Gina, Ohaiyo!! iya nih sudah baikan agaknya. “Sengaja aku ingin mengajak kamu bareng, arah kita kan sama mungkin aku bisa mengantarkan kamu ke kampus, itu juga kalo tidak keberatan….”. Belum sempat aku meneruskan mulut mungilnya sudah keburu bersuara, lembut bagiku. ” Pagi juga mas, aduh pake basa Jepang segala dah jago rupanya, eng.. aku dah biasa naik bus kota, gimana yach!!?”. ” Please…. masa kamu tega nian Gin, bareng yach !!!” bujukku kemudian. “Oke dech..tapi aku merasa berdosa sama kondektur yang selalu meminta ongkos nich…!!”candanya sambil naik juga ke motor ku. ” Gak papa deh entar aku bilangin sama abang kondekturnya,” jawabku sambil perlahan mulai melepaskan kopling. Sengaja motor ku tetap dalam laju yang gak terlalu cepat agar aku bisa ngobrol dengan Gina, minimal bisa berbasa-basi dan lebih mengakrabkan diri. Dan yang tak kusangka akhirnya aku bisa sedikit menanyakan hal yang cukup membuat ku sejenak takut akan jawabannya. “Eh pacar kamu orang mana sih?” pancingku. “Ih kok nanyain gitu, kan pacarku orang Kosambi, Gak mas lagi belum mikirin pacar ah…, lagian kebanyakan cowok sekarang kalo sudah jadi pacar pengennya macem-macem, kapok ah mas!” jawabnya sambil tak sadar mencubit pinggangku. Bukan cubitannya yang membuat hatiku berbunga, jawaban lugunya yang membuat aku memendam harapan besar. Harapan yang menghantuiku selepas hilangnya Pika. “Mas sendiri gimana, pacarnya orang mana?” pertanyaan yang mengejutkan ku untuk sebentar. “Lagi jomblo Gin, aku gak laku-laku nih. Lagian siapa yang akan tertarik dengan cowok kampung seperti aku” jawabku kemudian. “Ah, laki-laki emang selalu gombal….” tak melanjutkan ucapannya sebab motor ku sudah berhenti tepat di depan gerbang kampusnya. Gina turun dari motorku,”terima kasih mas Ahmad” katanya sambil bersiap memasuki gerbang kampusnya. “Gin, kataku perlahan namun cukup menghentikan langkahnya dan menatapku.”Kalo gak keberatan pulangnya bareng lagi yah, jam berapa kamu pulang?, “Eng… jam empat sore mas, sebenarnya kuliah beres jam dua ,kebetulan aku ada kegiatan dulu di kampus.”Tapi gak usah merepotkan mas, aku jadi gak enak. “Aku juga pulang jam empat, awas ya nanti aku jemput disini!” jawabku sambil berbalik tak memperdulikan jawabannya lagi. Tak kuperdulikan suara suit-suit teman Gina yang tampak iri atau mungkin sekedar bercanda. ” Aduh Gin, tumben sekarang diantar sama pangeran berkuda, siapa tuh?” terdengar suara cempreng cewek yang mungkin temannya Gina. Sambil tersenyum penuh kemenangan aku berbalik arah belok masuk jalan by pass menuju pabrik tempat ku bekerja.

Pulang kerja langsung kupacu motorku menuju kampus tempat Gina kuliah. Beruntung hanya beberapa menit menunggu, Gina dan teman-temannya kelihatan keluar gerbang kampus dan tanpa pikir panjang aku langsung menghadang dengan motorku. Mulanya Gina kelihatan seperti ragu menerima ajakanku. Namun atas perjuangan tak patah semangat yang ku perlihatkan dan juga perlakuan teman-temanya yang seperti mendukungku akhirnya aku berhasil juga membonceng bidadari impianku. Sengaja aku tidak langsung menuju ke rumahnya Gina, tetapi kubelokan dan berhenti di sebuah kantin kecil tempat aku menghabiskan sebagian waktu luangku jika sedang jenuh. Dua gelas jus jeruk yang kupesan rupanya telah memberikan banyak cerita menyenangkan antara aku dan Gina. Mulai dari cerita masa kecil Gina yang sangat memimpikan melihat langsung salju Fujiyama, ingin melihat langsung desa-desa pertanian di Jepang, sampai pada keinginannya untuk melihat bunga sakura bersemi. Itulah sebabnya selepas SMA ia memilih jurusan sastera Jepang. Cerita tentang hobi dan kecintaannya pada alam sehingga dia dikampusnya aktif mengikuti kegiatan pecinta alam seperti yang telah ia lakukan siang tadi selepas jam kuliahnya. Lebih dari dugaanku, gaya bicara Gina yang menarik lebih menguatkan tekadku untuk mendapatkanya. Hampir menjelang maghrib barulah aku dan Gina pulang. Gina pun mempersilahkan ku untuk masuk rumahnya dan berkenalan dengan keluarganya. Sungguh keluarga yang bahagia walupun kehidupannya sederhana. Ayahnya yang hanya pedagang sayur dipasar dan ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa mampu mendidik dan membentuk seorang Gina menjadi gadis mandiri yang sangat ku kagumi serta kedua adiknya yang masih SMA dan SMP yang kebetulan lagi ada dirumah sangat ramah menyambutku. Sungguh keluarga yang sangat ku kagumi.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari penuh keceriaan dan bermakna dalam hidupku. Walau pasti ada perbedaan namun ternyata lebih banyaknya persamaan antara kami berdua telah menjadikan kedekatan yang sangat menyenangkan. Apalagi setelah dalam satu kesempatan di kantin langganan ku Gina menerima permintaanku untuk jadi pacarnya. Lengkap sudah kebahagiaan ku, bahkan aku sudah punya rencana untuk memperkenalkan Gina pada orang tuaku di kampung. Atau bahkan meminta ijin pada orang tua untuk melamarnya. Sungguh aku sudah menemukan apa yang ku inginkan pada diri Gina. Begitupun keluarga Gina sudah sangat dekat dengan ku. Ayahnya tidak pernah menuntut apa-apa selain agar aku selalu menjaga kepercayaan dan tanggung jawab sebagai lelaki yang masih belum ada ikatan pernikahan dengan Gina. Amanat yang selalu ku jaga selain karena Gina termasuk gadis yang taat beragama juga karena sedikitnya aku pernah mengecap didikan di pesantren pimpinan almarhum KH. Zaenal Hambali di kampungku. Walau kadang hasrat selalu ada selama hidup di kota besar namun selama ini kekuatan imanku masih bisa membendung beragam godaan yang muncul.

Tiga minggu menjelang rencana lamaran dan pertunangan aku dengan GIna adalah menunggu hari-hari yang mendebarkan dan terasa menyiksa, selain karena bergejolaknya berbagai perasaan dalam hatiku menunggu hari yang kunanti namun sesungguhnya yang sangat menyiksaku adalah aku dua minggu ini tidak bisa menghubungi Gina walaupun hanya lewat telepon. Bukan karena Gina atau keluarganya melarang, namun kebetulan Gina sedang mengikuti kegiatan pecinta alamnya dan menurutnya akan melakukan pendakian di sebuah gunung di Jawa Tengah. Dan akan selesai dan pulang kira-kira seminggu sebelum kami bertunangan. Bahkan sebelum berangkat dia berjanji akan membawakan bunga edellweis untuk ku sebagai oleh-oleh dan sebagai lambang cinta abadi kami. Sungguh aku merasa tersanjung atas niatnya. Dan tanpa ku katakan sungguh aku akan menabung untuk bisa mewujudkan impiannya melihat langsung salju di Fujiyama dan akan kupetikan bunga sakura untuknya. Aku hanya bisa memabayangkan hal-hal indah kenangan bersama Gina untuk mengusir rasa jenuh menunggu hari yang cukup sakral bagiku. Benar-benar hari yang terasa hampa tanpa kehadiran sosok maupun suara lembut dan renyah Gina. Hanya alunan lagu-lagu melankolis yang menemaniku di kamar kos ku yang terasa sempit. Bahkan koran pagi yang biasa kulahap habis sembari menunggu tidur tak pernah ku sentuh. Hanya sekali aku begitu bersemangat mengangkat dering telepon genggam sebab kukira Gina menghubungiku, namun perkiraanku meleset. Ternyata Pika mantan pacarku yang menelopon dan memohon maaf atas sikapnya serta mengharapkan kembali menjadi pacarku. Hanya kujawab singkat dengan mengatakan bahwa aku sudah punya pacar dan akan bertunangan. Tak kutanggapi lagi kata-kata selanjutnya yang diiringi tangisannya yang sungguh tak akan merubah keputusanku. Hanya kutegaskan padanya bahwa aku dan dia sekarang hanya berteman dan langsung kututup pembicaraan yang tak bermutu ini. Bahkan kumatikan telpon genggamku karena rupanya dia tidak bosan menelpon.

Akhirnya walau terasa lama jadwal hari kepulangan Gina dari kegiatan pendakiannya datang juga. Sengaja Rabu ini aku tidak masuk kerja karena bermaksud ke rumah Gina untuk menyambut kedatangannya. Namun telpon ku tidak mendapat sambutan Gina begitupun ketika kucoba nelpon keluarganya hanya nada sibuk atau suara operator yang kudapatkan. Hatiku sedikit resah namun kukira hanya perasaanku yang memang sedang rindu ingin bertemu. Tak menunggu lama menjelang siang yang cerah aku langsung memacu tungganganku melesat menuju rumah Gina. Tak lupa mampir dulu ke toko bunga untuk membeli sekuntum bunga buat Gina. Sengaja ku beli bunga yang kecil selain karena aku risih membawa buket bunga yang besar dalam motor, bunga yang kecil bisa kusembunyikan dibelakang jaket dan akan jadi kejutan buat Gina. Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai pada halaman rumahnya. Tak biasanya kulihat kerumunan orang begitu banyak memenuhi halaman rumahnya, bahkan kulihat banyak teman Gina yang datang. Dan yang membuat lebih heran kulihat wajah-wajah sembab disana, tak ada kecerian seperti bayanganku kalau ini merupakan acara penyambutan. Dengan tergesa aku menyerobot masuk rumahnya, hanya pandangan heran dan tak kumengerti maknanya dari orang-orang yang melihatku. Didalam sudah penuh sesak, akhirnya kulihat Ayah Gina sedang duduk tepekur, kulihat ibunya dan dua adiknya sedang menangis berpelukan. Aku heran dan mulai timbul berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hati. Aku berfikir jangan-jangan…. dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah tubuh yang terbujur dengan tertutup kain putih. Pikiranku tambah kacau, entah apa yang harus kulakukan. Bertanya pada orang yang ada, bertanya pada Ayahnya, atau ku lihat sendiri siapa yang terbujur didepan ayahnya Gina.

Belum sempat otakku berpikir untuk melakukan apa yang akan kulakukan selanjutnya, tiba-tiba sebuah tangan lembut namun terasa kuat memegang pundakku. Kulirik ternyata om Husni pamannya Gina. Dengan mukanya yang jernih walau sekilas kelihatan ada raut muram dia berkata dengan suara pelan,”Nak Ahmad, mohon sabar dan dengarkan dulu kata-kata om, sebelumnya kami mohon maaf dulu karena belum memberitahumu karena kabar ini begitu mendadak“. Berhenti sebentar kemudian melanjutkan,” Kami semua sangat bersedih dan merasa kehilangan, namun kami sadar bahwa semuanya sudah diatur oleh Allah, kita manusia hanya berencana dan takdirlah yang menentukan, Rupanya Allah berkehendak lain, rombongan pendakian termasuk Gina tersesat dan terjebak jatuh pada sebuh jurang. “Mereka ditemukan tiga hari kemudian dalam keadaan kritis dan pingsan, hanya Gina yang mungkin kondisinya lebih lemah dan sebenarnya dulu waktu kecil pernah mengidap asma tak bisa diselamatkan….bersabarlah nak Ahmad….,”,suaranya mulai terisak. Tak kudengar lagi suara om Husni selanjutnya yang berusaha menghiburku, kakiku goyah, mataku nanar,.. samar-samar kulihat bayangan salju menghampar menyelimuti puncak Fujiyama dimana aku dan Gina sedang berpegangan melihatnya, samar-samar bermunculan bunga-bunga sakura yang indah mengelilingi aku dan Gina. Kupetik sekuntum bunga dan kusembunyikan dibelakang punggungku, kulihat Gina tersenyum menatapku ketika dengan cepat kuselipkan sekuntum bunga di telinganya. Tiba-tiba senyumnya terhenti ketika salju di puncak Fujiyama luruh, ketika semua sakura disekeliling kami luruh berjatuhan…. bersamaan luruhnya hati dan tubuhku. Kurasakan sesaat tangan-tangan yang memegangku sebelum akhirnya hanya kegelapan yang menyelimutiku……….. (c) awal juni 2010, saat aku merasa terlalu tua untuk menulis puisi bertema cinta di hari ulang tahunku…

buat gadis berjilbab yang pernah menemani hari-hari sesaknya naik bus kota dan baca koran bersama seakan kita teman akrab, sungguh aku terlalu penakut untuk sekedar tahu namamu.
pertama kali diterbitkan hanya di facebook. ARIGATO GOZAIMASTA….